BAB II PEMBAHASAN
A. Teori Belajar
Psikologi Kognitif Menurut Brunner
Jerome S. Bruner (1915) adalah seorang ahli psikologi
perkembangan dan ahli psikologi belajar kognitif. Pendekatannya tentang
psikologi adalah eklektik. Penelitiannya yang demikian banyak itu meliputi
persepsi manusia, motivasi, belajar, dan berpikir. Dalam mempelajari manusia,
Ia menganggap manusia sebagai pemproses, pemikir, dan pencipta informasi (dalam
Wilis Dahar, 1988;118).
Jerome S. Bruner dalam teorinya (dalam Suherman E., 2003;43)
menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran
diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok
bahasan yang diajarkan, di samping hubungan yang terkait antara konsep-konsep
dan struktur-struktur. Dengan mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam
bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus dikuasainya
itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur
tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat anak.
Bruner, melalui teorinya itu (dalam Suherman E., 2003), mengungkapkan
bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi
benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan
melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam
benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak
dihubungkan dengan keterangan intuitif yang telah melekat pada dirinya.
Dengan memanipulasi alat-alat peraga, siswa dapat belajar
melalui keaktifannya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bruner (dalam Suwarsono,
2002;25), belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk
menemukan hal-hal baru di luar (melebihi) informasi yang diberikan pada
dirinya. Sebagai contoh, seorang siswa yang mempelajari bilangan prima akan
bisa menemukan berbagai hal yang penting dan menarik tentang bilangan prima,
sekalipun pada awal mula guru hanya memberikan sedikit informasi tentang
bilangan prima kepada siswa tersebut. Teori Bruner tentang kegiatan
manusia tidak terkait dengan umur atau tahap perkembangan (berbeda dengan
Teori Piaget). Ada tiga bagian yang penting dari teori Bruner (dalam
Suwarsono, 2002;25), yaitu :
1. Tahap-tahap dalam
proses belajar
Menurut Bruner,
jika seseorang mempelajari suatu pengetahuan (Misalnya mempelajari suatu konsep
Matematika), pengetahuan itu perlu dipelajari dalam tahap-tahap tertentu,
agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif)
orang tersebut. Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh
(yang berarti proses belajar terjadi secara optimal) jika
pengetahuan yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga tahap, yang
macamnya dan urutannya adalah sebagai berikut (dalam Suwarsono,2002;26) :
a.
Tahap enaktif, yaitu suatu tahap
pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu dipelajari
secara aktif, dengan menggunakan benda-benda kongkret atau menggunakan situasi
yang nyata.
b.
Tahap Ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu
pengetahuan di mana pegetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk
bayangan visual (visual imagery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan
kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut
di atas.
c.
Tahap simbolik, yaitu suatu tahap pembelajaran di mana
pengetahuan itu direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (Abstract
symbols yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan
orang-orang dalam bidang yang bersangkutan), baik simbol-simbol verbal
(Misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat) lambang-lambang matematika,
maupun lambang-lambang abstrak lainnya.
Menurut Bruner, proses belajar akan berlangsung secara
optimal jika proses pembelajaran diawali dengan tahap enaktif, dan kemudian
jika tahap belajar yang pertama ini telah dirasa cukup, siswa beralih ke
kegiatan belajar tahap kedua, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus
representasi ikonik, dan selanjutnya, kegiatan belajar itu diteruskan dengan
kegiatan belajar tahap ketiga yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus
representasi simbolik. Sebagai contoh, dalam mempelajari penjumlahan dua
bilangan cacah, pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula
siswa mempelajari hal itu dengan menggunakan benda-benda konkret
(Misalnya menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng dan kemudian menghitung
banyaknya kelereng semuanya). Kemudian kegiatan belajar digunakan dengan
menggunakan gambar atau diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang
digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya kelereng semuanya, dengan
menggunakan gambar atau diagram tersebut). Pada tahap yang kedua ini bisa juga
siswa melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan pembayangan visual (visual imagery)
dari kelereng-kelereng tersebut. Pada tahap berikutnya, siswa melakukan
penjumlahan kedua bilangan itu dengan menggunakan lambang-lambang
bilangan yaitu 3 + 2 = 5 (dalam Suwarsono,2002;27) .
Di SLTP, dalam mempelajari irisan dua himpunan, siswa dapat
mempelajari konsep tersebut dengan mula-mula menggunakan contoh nyata (konkret,
misalnya dengan mengumpulkan data tentang siswa-siswa yang pergi ke sekolah
dengan naik sepeda dan siswa-siswa yang menyukai olahraga basket (sebagai
contoh), dan kemudian menentukan siswa-siswa yang pergi ke sekolah dengan naik
sepeda dan menyukai olahraga basket. Keadaan itu kemudian digambarkan
dengan diagram venn. Selanjutnya, irisan dua himpunan dapat didefinisikan
secara simbolik (dengan lambang-lambang), baik dengan lambang-lambang verbal
(kata-kata, kalimat-kalimat) maupun dengan lambang-lambang matematika (Dalam
hal ini notasi pembentuk himpunan) (dalam Suwarsono,2002;25).
2. Teoreme-teorema tentang
cara belejar dan mengajar matematika
Menurut Bruner ada empat prinsip prinsip tentang cara belajar
dan mengajar matematika yang disebut teorema. Keempat teorema tersebut adalah
a. Teorema penyusunan
(Construction theorem)
Teorema ini menyatakan bahwa bagi anak cara yang paling baik
untuk belajar konsep dan prinsip dalam matematika adalah dengan melakukan
penyusunan representasinya. Pada permulaan belajar konsep pengertian akan
menjadi lebih melekat apabila kegiatan yang menujukkan representasi konsep itu
dilakukan oleh siswa sendiri.
Dalam proses perumusan dan penyusunan
ide-ide, apabila anak disertai dengan bantuan benda-benda konkrit mereka lebih
mudah mengingat ide-ide tersebut. Dengan demikian, anak lebih mudah menerapkan
ide dalam situasi nyata secara tepat. Dalam hal ini ingatan diperoleh bukan
karena penguatan, akan tetapi pengertian yang menyebabkan ingatan itu dapat
dicapai. Sedangkan pengertian itu dapat dicapai karena anak memanipulasi
benda-benda konkrit. Oleh karena itu pada permulaan belajar, pengertian itu
dapat dicapai oleh anak bergantung pada aktivitas-aktivitas yang menggunakan
benda-benda konkrit.
Contoh, untuk memahami konsep
penjumlahan misalnya 3 + 4 = 7, siswa bisa melakukan dua langkah berurutan,
yaitu 3 kotak dan empat kotak pada garis bilangan. Dengan mengulangi hal yang
sama untuk dua bilangan yang lainnya anak-anak akan memahami konsep penjumlahan
dengan pengertian yang mendalam.
b. Teorema notasi (Notation
theorem)
Teorema notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep,
notasi memegang peranan penting. Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah
konsep tertentu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif siswa. Ini
berarti untuk menyatakan sebuah rumus misalnya, maka notasinya harus dapat
dipahami oleh anak, tidak rumit dan mudah dimengerti.
Sebagai contoh pada permulaan konsep fungsi diperkenalkan pada
anak SD kelas-kelas akhir, notasi yang sesuai menyatakan fungsi
…. = 2 … + 3, untuk tingkat yang lebih tinggi misalnya siswa SMP notasi fungsi dituliskan y = 2x + 3, setelah anak memasuki SMA atau perguruan tinggi Notasi fungsi dituliskan dengan f(x) = 2x + 3.
…. = 2 … + 3, untuk tingkat yang lebih tinggi misalnya siswa SMP notasi fungsi dituliskan y = 2x + 3, setelah anak memasuki SMA atau perguruan tinggi Notasi fungsi dituliskan dengan f(x) = 2x + 3.
Notasi
yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang paling
sederhana sampai yang paling sulit. Urutan penggunaan notasi disesuaikan dengan
tingkat perkembangan kognitif anak.
c. Teorema kekontrasan
dan keanekaragaman (Contras and variation theorem)
Dalam teorema ini dinyatakan bahwa dalam
mengubah dari representasi konkrit menuju representasi yang lebih abstrak suatu
konsep dalam matematika, dilakukan dengan kegiatan pengontrasan dan
keanekaragaman. Artinya agar suatu konsep yang akan dikenalkan pada anak mudah
dimengerti, konsep tersebut disajikan dengan mengontraskan dengan konsep-konsep
lainnya dan konsep tersebut disajikan dengan beranekaragam contoh. Dengan
demikian anak dapat memahami dengan mudah karakteristik konsep yang diberikan
tersebut.
Untuk menyampaikan suatu konsep dengan
cara mengontraskan dapat dilakukan dengan menerangkan contoh dan bukan contoh.
Sebagai contoh untuk menyampaikan konsep bilangan ganjil pada anak diberikan
padanya bermacam-macam bilangan, seperti bilangan ganjil, bilangan genap,
bilangan prima, dan bilangan lainnya selain bilangan ganjil. Kemudian siswa
diminta untuk menunjukkan bilangan-bilangan yang termasuk contoh bilangan
ganjil dan contoh bukan bilangan ganjil.
Sebagai contoh lain, untuk menjelaskan
pengertian persegipanjang, anak harus diberi contoh bujursangkar, belahketupat,
jajar genjang dan segiempat lainnya selain persegipanjang. Dengan demikian anak
dapat membedakan apakah segiempat yang diberikan padanya termasuk
persegipanjang atau tidak.
Dengan contoh soal yang beranekaragam,
kita dapat menanamkan suatu konsep dengan lebih baik daripada hanya
contoh-contoh soal yang sejenis saja. Dengan keanekaragaman contoh yang
diberikan siswa dapat mengenal dengan jelas karakteristik konsep yang diberikan
kepadanya. Misalnya, dalam pembelajaran konsep persegi panjang, persegi panjang
sebaiknya ditampilkan dengan berbagai contoh yang bervariasi, misalnya ada
persegi panjang yang posisinya bervariasi (ada yang kedua sisinya yang
berhadapan terletak horisontal dan dua sisi yang lainnya vertikal, ada
yang posisinya miring, dan sebagainya).
d. Teorema pengaitan (Connectivity
theorem) (dalam Suherman E., 2003;44-47).
Teorema ini menyatakan bahwa dalam
matematika antara satu konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang
erat, bukan saja dari segi isi, namun juga dari segi rumus-rumus yang
digunakan. Materi yang satu mungkin merupakan prasyarat bagi yang lainnya, atau
suatu konsep tertentu diperlukan untuk menjelaskan konsep lainnya. Misalnya
konsep dalil Pythagoras diperlukan untuk menentukan tripel Pythagoras
atau pembuktian rumus kuadratis dalam trigonometri.
Guru harus dapat menjelaskan
kaitan-kaitan tersebut pada siswa. Hal ini penting agar siswa dalam belajar
matematika lebih berhasil. Dengan melihat kaitan-kaitan itu diharapkan siswa
tidak beranggapan bahwa cabang-cabang dalam matematika itu sendiri berdiri
sendiri-sendiri tanpa keterkaitan satu sama lainnya.
Perlu dijelaskan bahwa keempat teorema
tersebut di atas tidak dimaksudkan untuk diterapkan satu persatu dengan urutan
seperti di atas. Dalam penerapannya, dua teorema atau lebih dapat diterapkan
secara bersamaan dalam proses pembelajaran suatu materi matematika tertentu.
Hal tersebut bergantung pada karakteristik dari materi atau topik matematika
yang dipelajari dan karakteristik dari siswa yang belajar.
3.
Belajar Penemuan
Salah
satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model dari
Jerome Bruner (1966) yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery
learning) (dalam Wilis R.,1988;125-126). Bruner menganggap, bahwa belajar
penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan
dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk
mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya menghasilkan
pengetahuan yang benar-benar bermakna (yaitu kegiatan belajar dengan
pemahaman). Belajar bermakna merupakan satu-satunya jenis belajar yang mendapat
perhatian Bruner.
Bruner
menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi secara
aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-pninsip, agar mereka dianjurkan untuk
memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan
mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
Pengetahuan
yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukan beberapa kebaikan. Pertama,
pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat,, atau lebih mudah
diingat, bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara
lain. Kedua. hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik
daripada hasil belajar lainnya. Dengan kata lain, konsep-konsep dan
prinsip-prinsip yang dijadikan milik kognitif seseorang lebih mudah diterapkan
pada situasi-situasi baru. Ketiga, secara menyeluruh belajar penemuan
meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir secara bebas. Secara
khusus belajar penemuan melatih keterampilan-keterampilan kognitif siswa untuk
menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.
Selanjutnya
dikemukakan, bahwa belajar penemuan membangkitkan keinginan-tahuan siswa,
memberi motivasi untuk bekerja terus sampai menemukan jawaban-jawaban. Lagi
pula pendekatan ini dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan memecahkan
masalah tanpa pertolongan orang lain, dan meminta para siswa untuk menganalisis
dan memanipulasi informasi, tidak hanya menerima saja.
Bruner
menyadari, bahwa belajar penemuan yang murni memerlukan waktu, karena itu dalam
bukunya ‘The Relevance of Education” (1971), Ia menyarankan agar penggunaan
belajar penemuan ini hanya diterapkan sampai batas-batas tertentu, yaitu dengan
mengarahkannya pada struktur bidang studi.
Struktur
suatu bidang studi terutama diberikan oleh konsep-konsep dasar dan
prinsip-prinsip dan bidang studi itu. Bila seorang siswa telah rnenguasai
struktur dasar, maka kurang sulit baginya untuk mempelajari bahan-bahan
pelajaran lain dalam bidang studi yang sama, dan Ia akan lebih mudah ingat akan
bahan baru itu. Hal ini disebabkan karena ia telah memperoleh kerangka
pengetahuan yang bermakna, yang dapat digunakannya untuk melihat
hubungan-hubungan yang esensial dalam bidang studi itu, dan dengan demikian
dapat memahami hal-hal yang mendetail.
Menurut
Bruner, mengerti struktur suatu bidang studi ialah memahami bidang studi itu
demikian rupa, hingga dapat menghubungkan hal-hal lain pada struktur itu secara
bermakna. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa mempelajari struktur adalah
mempelajari bagaimana hal-hal dihubungkan.
B. Penerapan Teori
Belajar Psikologi Kognitif Menurut Brunner dalam Matematika
Dalam
bagian ini akan dibahas bagaimana menerapkan belajar penemuan pada siswa,
ditinjau dari segi pendekatan, metoda, tujuan, serta peranan guru (dalam Wilis R.,1988;129-132).
1.
Pendekatan
Spiral dalam Pembelajaran Matematika
Disebabkan
oleh adanya peningkatan taraf kemampuan berfikir para siswa sesuai dengan
perkembangan kedewasaan atau kematangan mereka, Bruner (dalam
Suwarsono,2002;31) menganjurkan digunakannya pendekatan spiral (Spiral
approach) dalam pembelajaran matematika. Maksudnya, sesuatu materi
matematika tertentu seringkali perlu diajarkan beberapa kali pada siswa yang
sama selama kurun waktu siswa tersebut berada di sekolah, tetapi dari saat
pembelajaran yang satu ke saat pembelajaran berikutnya terjadi peningkatan
dalam tingkat keabstrakan dan kompleksitas dari materi yang dipelajari,
termasuk peningkatan dalam keformalan sistem notasi yang digunakan. Sebagai
contoh, pada suatu saat siswa SLTP mempelajari fungsi yang daerah
asal dan daerah kawannya berupa himpunan yang berasal dari kehidupan
sehari-hari, dan dengan system notasi yang masih sederhana. Pada suatu saat di
kemudian hari, siswa yang sama mempelajari fungsi untuk kedua kalinya,
tetapi dengan melibatkan daerah asal dan daerah kawan yang berupa himpunan
bilangan, dengan sistem notasi yang lebih formal. Pada saat berikutnya,
pembahasan tentang fungsi bisa ditingkatkan lagi baik dalam hal kerumitan
materi, variasi (kelengkapan) materi, maupun dalam sistem notasi yang
digunakan. Peningkatan dalam hal materi pembelajaran dan sistem notasi tersebut
diupayakan seiring dengan peningkatan kemampuan dan kematangan siswa dalam
berpikir, sesuai dengan perkembangan kedewasaan atau kematangan siswa.
2.
Metoda
dan Tujuan
Dalam
belajar penemuan, metoda dan tujuan tidak sepenuhnya seiring. Tujuan belajar
bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan saja. Tujuan belajar sebenarnya ialah
untuk memperoleh pengetahuan dengan suatu cara yang dapat melatih kemampuan-kemampuan
intelektual para siswa, dan merangsang keinginan tahu mereka dan memotivasi
kemampuan mereka. Inilah yang dimaksud dengan memperoleh pengetahuan melalui
belajar penemuan.
Jadi,
kalau kita mengajarkan sains misalnya, kita bukan akan menghasilkan perpustakaan-perpustakaan
hidup kecil tentang sains, melainkan kita ingin membuat anak-anak kita berpikir
secara matematis bagi dirinya sendiri, berperan serta dalam proses perolehan
pengetahuan. Mengetahui itu adalah suatu proses, bukan suatu produk.
Apakah
implikasi ungkapan Bruner itu? Tujuan-tujuan mengajar hanya dapat
diuraikan secara garis besar, dan dapat dicapai dengan càra-cara yang tidak
perlu sama oleh para siswa yang mengikuti pelajaran yang sama itu.
Dengan
mengajar seperti yang dimaksud oleh Bruner ini, bagaimana peranan guru dalam
proses belajar mengajar? Dalam belajar penemuan siswa mendapat kebebasan sampai
batas-batas tertentu untuk menyelidiki, secara perorangan atau dalam suatu
tanya jawab dengan guru, atau oleh guru dan/atau siswa-siswa lain, untuk
memecahkan masalah yang diberikan oleh guru, atau oleh guru dan siswa-siswa
bersama-sama. Dengan demikian jelas, bahwa peranan guru lain sekali bila
dibandingkan dengan peranan guru yang mengajar secara klasikal dengan metoda
ceramah. Dalam belajar penemuan ini, guru tidak begitu mengendalikan proses
belajar mengajar.
3.
Peranan
Guru
Dalam
belajar penemuan, peranan guru dapat dirangkum sebagai berikut :
- Merencanakan pelajaran demikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki oleh para siswa.
- Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran itu dapat mengarah pada pemecahan masalah yang aktif dan belajar penemuan, misalnya dengan penggunaan fakta-fakta yang berlawanan. Guru hendaknya mulai dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh siswa-siswa. Kemudian guru mengemukakan sesuatu yang berlawanan. Dengan demikian terjadi konflik dengan pengalaman siswa. Akibatnya timbullah masalah. Dalam keadaan yang ideal, hal yang berlawanan itu menimbulkan suatu kesangsian yang merangsang para siswa untuk menyelidiki masalah itu, menyusun hipotesis-hipotesis, dan mencoba menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang mendasari masalah itu.
- Selain hal-hal yang tersebut di atas, guru juga harus memperhatikan tiga cara penyajian yang telah dibahas terdahulu. Cara cara penyajian itu ialah cara enaktif, cara ikonik, dan cara simbolik. Contoh cara-cara penyajian ini telah diberikan dalam uraian terdahulu. Untuk menjamin keberhasilan belajar, guru hendaknya jangan menggunakan cara penyajian yang tidak sesuai dengan tingkat kognitif siswa. Disarankan agar guru mengikuti aturan penyajian dari enaktif, ikonik, lalu simbolik. Perkembangan intelektual diasumsikan mengikuti urutan enaktif, ikonik, dan simbolik, jadi demikian pula harapan tentang urutan pengajaran.
- Bila siswa memecahkan masalah di laboratonium atau secara teoretis, guru hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru hendaknya jangan mengungkapkan terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari, tetapi ia hendaknya rnemberikan saran-saran bilamana diperlukan. Sebagai seorang tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada waktu yang tepat. Umpan balik sebagai perbaikan hendaknya diberikan dengan cara demikian rupa, hingga siswa tidak tetap tergantung pada pertolongan guru. Akhirnya siswa harus melakukan sendiri fungsi tutor itu.
- Menilai hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar penemuan. Seperti kita ketahui, tujuan-tujuan tidak dapat dirumuskan secara mendetail, dan tujuan-tujuan itu tidak diminta sama untuk berbagai siswa. Lagi pula tujuan dan proses tidak selalu seiring. Secara garis besar, tujuan belajar penemuan ialah mempelajari generalisasi-generalisasi dengan menemukan sendiri generalisasi-generalisasi itu.
Di lapangan, pènilaian basil belajar
penemuan meliputi pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar mengenai suatu bidang
studi, dan kemampuan siswa untuk menerapkan prinsip-prinsip itu pada situasi
baru. Untuk maksud ini bentuk tes dapat berupa tes objektif atau tes essai.
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Menurut
Bruner belajar matematika adalah belajar mengenai konsep-konsep dan
struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari
serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika
tersebut.
2.
Bruner
membagi tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam tiga tahap yaitu tahap
enaktif, tahap ikonik dan tahap simbolik.
3.
Selain
teori perkembangan kognitif, Bruner mengemukakan teorema-teorema tentang cara
belajar dan mengajar matematika yaitu
a.
Teorema
konstruksi (Construction Theorem)
b.
Teorema
Notasi (Notation Theorem)
c.
Teorema
kekontrasan dan variasi (Contrast and variation theorem)
d.
Teorema
konektivitas (Connectivity theorem)
4.
Belajar
penemuan adalah salah model instruksional kognitif yang paling berpengaruh.
Bruner beranggapan bahwa belajar dengan menggunakan metode penemuan (discovery)
memberikan hasil yang baik sebab anak dituntut untuk berusaha sendiri untuk
mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya.
B.
SARAN
1.
Diharapkan pebelajaran
senantiasa berfokus pada peserta didik sehingga lebih melibatkan
keaktifan siswa dalam pembelajar.
2.
Diharapkan siswa selalu
mempersiapkan skema yang ada dalam dirinya, agar dalam proses pembelajaran
siswa mudah memahami konsep yang dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA
lkpk.org/info/teori-belajar-bruner-muhammad-zainal-abidin-personal-blog.html
lkpk.org/info/teori-perkembangan-kognitif-bruner.html
lkpk.org/info/teori-belajar-kognitif-bruner.html
Suwarsono, 2002. Teori-teori
Perkembangan Kognitif dan Proses Pembelajaran yang Relevan Untuk Pembelajaran
Matematika. Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar